Kamis, 02 Desember 2010

KEBIASAAN MENGISAP JARI YANG TIDAK LAZIM PADA PASIEN DENGAN CELAH BIBIR DAN PALATUM

Abstrak:
Mengisap jari, sebuah bentuk kebiasaan mengisap non-nutritif, merupakan kebiasaan yang menjadi perhatian dalam berbagai bidang spesialisasi, seperti psikiater, ahli psikologis, pediatrik, orthodontis, speech pathologist, dan bedah plastik. Kebiasaan ini dapat menghasilkan tekanan yang tidak seimbang pada ridge alveolar yang belum tumbuh sempurna. Kebiasaan mengisap telah diketahui dapat mempengaruhi karakteristik oklusi dan ridge gigi. Pada awal 1870, Campbell dan Chandler mengatakan bahwa kebiasaan mengisap jari atau ibu jari dalam jangka lama dapat memberikan pengaruh buruk pada karateristik oklusal tertentu meliputi open bite anterior, peningkatan over jet, dan hubungan molar dan kaninus klas II. Namun, masih sangat sedikit informasi mengenai kebiasaan mengisap jari dan pengaruhnya pada celah bibir dan palatum serta masih belum ada literatur yang melaporkan mengenai kebiasaan mengisap jari pada pasien celah bibir.
Kata kunci
Mengisap jari pada pasien celah bibir dan palatum, mengisap jari pada anak cacat jasmani.

Pendahuluan
Kebiasaan merupakan pola kontraksi muskular dan dapat menjadi bagian dari perkembangan normal, atau merupakan gejala berdasarkan psikologis atau disebabkan oleh karena pertumbuhan fasial yang abnormal. Kebiasaan mengisap non-nutritif yang berkepanjangan dilaporkan dapat menyebabkan perubahan dalam ukuran lengkung gigi tertentu seperti penurunan lebar lengkung rahang atas dan peningkatan lebar lengkung rahang bawah, dengan disertai prevalensi cross bite posterior yang lebih tinggi. Pada subjek dengan kebiasaan mengisap non-nutritif yang berlanjut hingga 48 bulan atau lebih dapat menyebabkan perubahan pada lengkung gigi dan karakteristik oklusal, anak-anak dengan durasi mengisap yang lebih singkat juga telah terdeteksi. Oleh sebab itu sebaiknya disarankan untuk melakukan pemeriksaan meskipun pada subjek dengan durasi mengisap jari yang singkat.
Meskipun kebiasaan mengisap jari merupakan kebiasaan umum, belum terdapat laporan dalam literatur mengenai jenis pengisapan jari pada pasien celah bibir dan palatum maupun yang mengklasifikasikannya dalam oral habit. Dalam paragraf selanjutnya, kami melaporkan kasus khusus mengisap jari pada anak dengan kondisi cacat jasmani berupa celah bibir dan palatum unilateral (Gambar 1).
Gambar 1. Pasien dengan celah bibir dan palatum unilateral
Gambar 2. Kebiasaan mengisap jari.
Gambar 3. Pencetakan yang dilakukan dengan greenstick.
Laporan Kasus
Seorang anak perempuan berusia 5 tahun dirujuk pada Department of Pedodontics and Preventive Dentistry, KVG Dental College and Hospital, Sullia, dengan celah bibir dan palatum unilateral. Tidak terdapat riwayat perawatan atau pembedahan sebelumnya. Pasien memiliki kesulitan dalam makan dengan infeksi regurgitation dan resporatori. Anak tersebut memiliki berat badan 6.2 kg dan tidak menunjukkan malnutrisi. Pemeriksaan intraoral menunjukkan celah bibir dan palatum dengan jarak yang cukup lebar antara bagian alveolar. Pemeriksaan dan riwayat lanjut menunjukkan bahwa anak tersebut memiliki kecenderungan untuk meletakkan jarinya ke dalam rongga mulut dan mengisapnya. Kebiasaan mengisap jari tersebut telah terjadi sejak lahir dan anak tersebut telah terbiasa untuk meletakkan jari tengah dan jari manis ke dalam rongga mulut dan jari telunjuk pada hidung pada saat mengisap jari (Gambar 2).
Untuk meningkatkan estetik dari koreksi bibir, direncanakan untuk melakukan pencetakan celah pra-pembedahan ortopedi, sehingga dapat membentuk lebih banyak celah dengan bentuk ridge alveolar yang lebih ideal, sehingga dapat menghilangkan tegangan setelah pembedahan bibir. Selain itu, berkurangnya ukuran celah alveolar dapat menghilangkan kebutuhan graft tulang pada tahap geligi bercampur. Deformitas ini dikarakterisasi oleh cartilage nasal alar yang datar pada sisi celah yang miring ke arah celah alveolar.
Naso Alveolar Molding (NAM) direncanakan untuk mengurangi ruang antara celah dan untuk mencetak deformitas nasal sebelum pembedahan bibir yang telah tertunda. Pencetakan awal defek dilakukan menggunakan greenstick (Gambar 3) dan model dicor. Model menunjukkan defek memerlukan NAM dengan lebar 17 mm.
NAM dilanjutkan selama dua bulan dimana ukuran defek telah berkurang menjadi 14 mm. Nasal stent, yang terdiri dari lengkung kawat ortodontik untuk menghasilkan triad ball kecil untuk mencerminkan bentuk nostril dibuat dan disesuaikan sekali seminggu dengan meningkatkan kawat dan nasal ala sedikit diangkat (Gambar 4). Namun kebiasaan mengisap jari masih tetap ada meskipun alat dilepaskan, yang dapat menyebabkan terjadinya pelebaran kembali celah yang telah menutup pada saat pasien tersebut meletakkan lidah atau tangannya.
Pasien menjalani operasi penutupan bibir menggunakan prosedur Millard dan penyembuhan yang terjadi cukup baik dan pasien dipanggil untuk memeriksa bahwa kebiasaan mengisap sudah tidak dilakukan lagi setelah pembedahan (Gambar 5).
Gambar 4. Pasien dengan alat NAM
Gambar 5. Postoperatif


Diskusi
Proses mengisap dapat tampak pada minggu ke-29 kandungan dan merupakan aktivitas koordinasi muskular yang pertama pada bayi. Maka sangat penting untuk memenuhi kebutuhan psikologis dan nutrisional pada saat menyusui dan terpisah dari kebiasaan nutrisional anak yang disebabkan oleh kesenangan dari mengisap bibir, lidah, dan mukosa mulut. Bayi biasanya menyusui untuk waktu yang cukup lama untuk mendapatkan makanan sehingga memuaskan keinginan mengisap. Etiologi kebiasaan mengisap jari disebabkan oleh karena kurangnya kebutuhan psikologis dan nutritif sealam menyusui dan sebab itu anak tersebut mengisap jari untuk kepuasan tambahan.
Pasien ini tidak menyusui karena kurangnya air susu pada ibu dan ketidaknyamanan menyusui karena regurtitasi dan ketidakpuasan mengisap dapat mendorong anak tersebut untuk mengisap jari. Sebab itu, kebiasaan tersebut dapat disebabkan untuk menghilangkan keinginan untuk mengisap dan jari berperan sebagai palatum artifisial.
Hubungan antara kebiasaan mengisap non-nutritif dan kelainan oklusal telah diteliti secara luas dan dapat menyebabkan maloklusi tertentu pada geligi desidui dan hubungan kaninus dan molar klas II. Prevalensi ini meningkat seiring peningkatan durasi. Meskipun banyak penelitian menunjukkan konsekuensi dari kebiasaan mengisap non-nutritif pada geligi desidu, namun, kebanyakan penelitian tersebut hanya menggunakan desain cross sectional. Hubungan antara kedua masalah ini sulit dibuktikan.
Meskipun mengisap jari sangat sering ditemukan pada masa pertumbuhan dan berlanjut hingga tahun kedua, namun kebiasaan ini memerlukan intervensi karena kebiasaan ini memberikan pengaruh buruk pada hasil perawatan celah bibir dan palatum. Hasil dari beberapa penelitian electromyography menunjukkan bahwa otot circumoral yang aktif selama mengisap jari dapat memberikan tekanan pada pipi pada regio kaninus. Pasien ini memiliki tekanan tambahan pada otot pada saat mengisap jari, koreksi celah bibir dan palatum juga dapat mengurangi crossbite, yang dapat merubah hasil perawatan. Sebab itu, kasus ini memerlukan perhatian khusus karena penggunaan metode perawatan reparatif.
Penelitian electromyography yang dilakukan pada otot mastikasi pada pasien yang menjalani operasi celah bibir dan palatum unilateral menunjukkan fungsi otot yang berbeda dibandingkan pada pasien yang tidak menjalani operasi. Pasien yang menjalani operasi celah bibir dan palatum menunjukkan nilai aktivitas EMG tertinggi pada otot superios orbicular oris dengan penutupan bibir abnormal. Sebab itu kebiasaan ini harus dihentikan setelah pembedahan karena perbedaan adaptabilitas dan fungsi otot.

KEBUTUHAN PERAWATAN PERIODONTAL PADA PEROKOK USIA 20-50 TAHUN DI RW 3 KELURAHAN KARANG ANYAR KECAMATAN MAMAJANG KOTA MAKASSAR

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit periodontal adalah gangguan infeksi kronis yang di sebabkan oleh bakteri tertentu. Manifestasinya merupakan reaksi inang terhadap infeksi tersebut yang dimediasi oleh lingkungan sekitarnya. Ada dua bentuk penyakit periodontal yaitu gingivitis dan periodontitis. Gingivitis adalah reaksi jaringan gingiva terhadap akumulasi biofilm plak bakteri gigi. Sedangkan periodontitis bukanlah penyakit yang homogen, tetapi lebih sebagai sekumpulan penyakit yang saling berkaitan dengan manifestasi gambaran klinis sama tetapi mungkin berbeda penyebab dan proses biologisnya. Pada periodontitis, selain bakteri, juga harus ada faktor kepekaan inang. Faktor yang meregulasi kepekaan ini belum jelas, namun termasuk didalamnya adalah respon imun dan respon lainnya terhadap bakteri patogen (Mustaqimah dkk, 2005).
Penyakit periodontal adalah penyakit yang menyebabkan rasa nyeri, tidak nyaman, dan kehilangan gigi dini. Ketika suatu populasi secara signifikan di duga terserang periodontitis maka secara relatif terjadi perlawanan terhadap bentuk penyakit periodontal yang hebat. Petunjuk ini mengacu pada hipotesis bahwa faktor yang di duga atau faktor resiko mengacu pada kemampuan perlawanan suatu individu terhadap kerusakan penyakit periodontal (Robert dkk, 2000)
Penyakit periodontal dapat di definisikan sebagai proses patologis yang mengenai jaringan periodontal. Sebagian besar penyakit periodontal inflamatif disebabkan oleh infeksi bakteri. Walaupun faktor-faktor lain dapat mempengaruhi jaringan periodontal, penyebab utama penyakit periodontal adalah mikroorganisme yang berkolonosasi di permukaan gigi (plak, bakteri dan produk-produk yang dihasilkannya) (Peter dkk, 2004).
Terdapat ketidakseimbangan biologis dari efek negatif merokok pada jaringan periodontal. Rokok dapat menimbulkan efek immunosupressive pada host. Motilitas leukosit PMN, kemotaksis, dan fagositosis secara signifikan dapat merusak jaringan periodontal. Pada perokok produksi antibodinya berkurang khususnya IgG2 dan mengurangi rasio pembentukan sel T. Merokok juga dapat meningkatkan adhesi bakteri pada sel epitel jadi perokok berat sangat signifikan terinfeksi oleh Bacteroides forsythus dan Porphyromonas Gingivalis dibanding yang tidak merokok. (Peter dkk, 2004).
Faktor sosial dan perilaku lebih terarah pada masalah kebasaan merokok, status sosial ekonomi, nutrisi, psikologis, dan konsumsi alkohol. Resiko gingivitis pada perokok lebih tinggi, keadaan penyakit periodontal sedang-berat pada perokok 2,7 kali lebih tinggi, tinggi tulang alveolar perokok lebih rendah bermakna, dan resiko kehilangan gigi sebab penyakit periodontal pada perokok meningkat bermakna di bandingkan pada bukan perokok. Efek merokok mengganggu proses penyembuhan luka bedah maupun non bedah. Demikian pula merokok cerutu dan pipa ditemukan berhubungan bermakna dengan kerusakan tulang alveolar dan kehilangan gigi (Mustaqimah, 2003)
Dilaporkan 86 % sampai 90% pasien periodontitis yang sukar di sembuhkan adalah pasien yang mempunyai kebiasaan merokok. Sesudah terapi awal periodontal pada perokok mengalami kambuhnya periodontitis, yang di tandai dengan hilangnya perlekatan secara klinis. Pada perokok berat menunjukkan peningkatan penyakit yang lebih besar daripada perokok ringan (Tonetti, 1998)
B. Rumusan Masalah
Merokok sebagai faktor resiko terbesar untuk peningkatan prevalensi dari kerusakan periodontal. Bebarapa penelitian yang dilakukan telah menunjukkan bahwa poket yang dalam, kehilangan attachment, kehilangan tulang alveolar lebih tinggi pada perokok dibanding yang tidak merokok, perkiraan terhadap hubungan antara merokok dan periodontitis ditunjukkan lebih dari 12.000 gigi manusia pada umur di atas 18 tahun sesuai dengan uji kesehatan dan nutrisi nasional. Merokok dan tidak merokok adalah mereka yang tidak mengisap kurang dari atau sama dengan 100 rokok selama hidupnya. Melalui penelitian terhadap 12.000 orang, 9,2% menderita periodontitis. Ini membuktikan 15 juta kasus periodontitis di US. Menurut rata-rata, perokok 4 kali lebih beresiko menderita periodontitis dibanding orang yang tidak merokok setelah menyesuaikan umur, jenis kelamin,etnik, pendidikan, dan pendapatan. Perokok hebat 1,68 kali lebih beresiko dibanding mereka yang tidak merokok. Studi ini juga menunjukkan hubungan respon dosis antara rokok yang diisap per hari dan kemungkinan periodontitis (Novak, 2002)
Periodontitis merupakan inflamasi pada penyangga gigi kerena bakteri spesifik sehingga terjadi destruksi progresif dari ligamen periodontal dan tulang alveolar. Akibatnya terbentuk poket atau resesi. Umumnya kerusakan terjadi hanya di tempat tertentu. Bedanya dengan gingivitis adalah adanya Attachment Loss (Mustaqimah, 2003)
Kesadaran masyarakat untuk datang berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan masih rendah. Hal ini terlihat dari 8,7% masyarakat yang mengeluh sakit gigi tidak berobat, 12,3% masyarakat yang mengeluh sakit gigi sudah dalam keadaan terlambat sehingga dari rata-rata 6,4% gigi yang rusak 4,4% gigi sudah dicabut, dan 0,7% mencari pengobatan tradisional (Julianti, 2001)
Adapun rumusan masalah yang akan dikemukakan dalam penelitian ini adalah mengenai kebutuhan perawatan periodontal pada perokok yang bermukim di RW 3 Kel. Karang Anyar, Kec. Mamajang, Kota Makassar dan penelitian ditekankan pada kondisi rongga mulut khususnya jaringan periodonsium sehingga dapat memastikan apakah kebutuhan perawatan periodontal dibutuhkan oleh masyarakat di lokasi tersebut secara khusus dan masyarakat pada umumya, berdasarkan skor CPITN.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status kesehatan periodontal dan kebutuhan perawatan periodontal pada perokok yang bermukim di RW 3 Kel. Karang Anyar, Kec. Mamajang, Kota Makassar.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai status penyakit periodontal dan kebutuhan perawatan periodontal perokok yang bermukim di RW 3 Kel. Karang Anyar, Kec. Mamajang, Kota Makassar, dan secara umum memberikan informasi serta pengetahuan kepada masyarakat luas akan dampak merokok bagi kesehatan gigi dan mulut.















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Jaringan Periodonsium
1. Gambaran Umum Periodonsium
Sistem mastikasi terdiri dari mandibula dan maksila, otot-otot mastikasi, sendi temporomandibula dan ligamen yang berhubungan dengannya, gigi-geligi dan jaringan pendukung gigi atau jaringan periodontal.
Periodonsium mempunyai empat komponen; gingiva, tulang alveolar, ligamen periodontal, dan sementum. Pengetahuan tentang jaringan periodontal dalam keadaan sehat penting untuk mengenal perjalanan penyakit itu (Manson dan Eley, 1993).
a. Gingiva






Gambar 1 : Gingiva sehat
http://summitdentalgrp.com/images/dental-services/gum-disease.jpg

Gingiva adalah bagian mukosa rongga mulut yang mengelilingi gigi dan menutupi lingir (ridge) alveolar. Merupakan bagian dari apparatus pendukung gigi, periodonsium, dan dengan membentuk hubungan dengan gigi, gingiva berfungsi melindungi jaringan di bawah perlekatan gigi terhadap pengaruh lingkungan rongga mulut. Gingiva tergantung pada gigi-geligi; bila ada gigi-geligi, gingiva juga ada dan bila gigi dicabut gingiva akan hilang (Manson dan Eley, 1993).
Mukosa mulut terdiri dari 3 bagian yaitu : (1) gingiva dan yang menutupi palatum durum disebut mukosa mastikatori, (2) dorsum lidah ditutupi oleh mukosa yang spesifik, dan (3) membran mukosa mulut yang melapisi bagian lain dari rongga mulut. Gingiva adalah bagian mukosa mulut yang melapisi prosessus alveolaris tulang rahang dan mengelilingi leher gigi.
Gingiva secara anatomi dibedakan menjadi tiga bagian yaitu marginal gingiva, attached gingiva dan interdental gingival (Carranza, 2002)
1) Marginal Gingiva (Unattached Gingiva)
Marginal gingiva atau unattached adalah batas akhir atau tepi gingiva yang mengelilingi gigi seperti kerah baju. Pada kira-kira 50% kasus, Marginal gingiva dipisahkan dari attached gingiva yang berdekatan oleh suatu lekukan dangkal berupa garis yang disebut free gingival groove, biasanya dengan lebar kira-kira 1 mm, yang membentuk dinding jaringan lunak dari sulkus gingiva. Marginal gingiva dapat dipisahkan dari permukaan gigi dengan menggunakan probe periodontal.
Sulkus gingiva. Sulkus gingiva merupakan celah dangkal atau ruang disekeliling gigi yang dibatasi oleh permukaan gigi pada satu sisi dan oleh garis epitel dari free gingival margin pada sisi lainnya. Sulkus gingiva berbentuk V dan hanya sedikit yang dapat dimasuki probe periodontal. Penentuan klinik kedalaman sulkus gingiva merupakan parameter diagnosa yang penting. Di bawah kondisi normal yang absolut, kedalaman sulkus gingiva yaitu 0 atau sekitar 0. Kedalaman sulkus gingiva dapat bervariasi antara 1 mm dan 3 mm. Pemeriksaan dengan alat pemeriksa tumpul seharusnya tidak menyebabkan perdarahan. Gingiva normal memperlihatkan tidak adanya aliran cairan sulkuler (Carranza, 2002; Goldman, 1986)
2) Attached Gingiva
Attached gingiva atau mukosa fungsional meluas dan groove gingiva bebas ke pertautan mukogingiva dimana akan bertemu dengan mukosa alveolar. Permukaan attached gingiva mempunyai stippling yang mirip seperti kulit jeruk. Attached gingiva biasanya terlebar pada region insisivus (3-5 mm) dan tersempit pada daerah kaninus dan premolar bawah. Sebenarnya selebar apapun daerah tersebut, bahkan lebar nol sekalipun tetap dianggap normal asalkan jaringan dalam keadaan sehat (Manson dan Eley, 1993)
Attached gingiva merupakan kelanjutan dari marginal gingiva. Attached gingiva kuat, kenyal dan rapat menuju dasar periosteum dan tulang alveolar. Aspek fasial dan attached gingiva diperluas terhadap mukosa alveolar yang relatif longgar dan bergerak yang dibatasi oleh mukogingival junction (Carranza, 2002)
Lebar attached gingiva merupakan parameter klinik yang penting. Lebar ini merupakan jarak diantara mukogingival junction dan proyeksi dan permukaan luar dan dasar sulkus gingiva atau poket periodontal. Lebar attached gingiva pada aspek fasial berbeda pada tiap daerah dalam mulut. Pada umumnya paling besar pada region insisal (3,5 - 4,5 mm pada region rahang atas dan 3,3 - 3,9 mm pada rahang bawah) dan kecil pada region posterior dengan lebar paling kecil pada daerah premolar pertama (1,9 mm pada rahang atas dan 1,8 mm pada rahang bawah).
Mukogingival junction tidak berubah sepanjang kehidupan dewasa. Oleh karena itu, perubahan lebarnya attached gingiva seharusnya dimodifikasi dalam posisi ujung koronalnya. Lebar attached gingiva bertambah sesuai dengan umur dan pada gigi yang supraerupsi. Pada aspek lingual RB, attached gingiva berakhir pada pertautan dengan mukosa tulang alveolar yang berlanjut dengan membran mukosa mulut. Permukaan palatal dari attached gingiva pada rahang atas bersatu dengan mukosa palatal yang sama kuat dan kenyal (Carranza, 2002)
3) Interdental Gingiva
Interdental gingiva menempati embrasur gigi dengan ruang interproximal di bawah titik kontak. Interdental gingiva dapat berbentuk piramidal atau col. Sebelumnya terdapat satu papilla dengan ujung di bawah titik kontak yang kemudian terjadi penurunan seperti lembah yang menghubungkan papilla fasial dan lingual, sesuai bentuk kontak interproksimal.
Bentuk gingiva pada celah interdental bergantung pada titik kontak diantara dua gigi yang berdekatan dan ada atau tidaknya derajat resesi.
Permukaan fasial dan lingual meruncing ke arah kontak interproksimal dan permukaan mesial dan distal sedikit konkaf. Tepi lateral dan puncak papilla interdental dibentuk oleh kelanjutan dari marginal gingiva dari gigi yang berdekatan. Jika terdapat diastema, batas gingiva yang tegas melewati tulang interdental dan bentuknya licin yang mengelilingi permukaan tanpa papilla interdental (Carranza, 2002).
Epitelium col biasanya sangat tipis, tidak terkeratinisasi dan terbentuk hanya dari beberapa lapis sel. Strukturnya mungkin merefleksikan posisinya yang terlindung. Pertukaran sel-sel epitelial sama seperti pada daerah gingiva lainnya.
Regio interdental berperan sangat penting karena merupakan daerah stagnasi bakteri yang paling persisten dan strukturnya menyebabkan daerah ini sangat peka. Di daerah inilah biasanya timbul lesi awal pada gingivitis (Manson dan Eley, 1993)
1) Gambaran Klinik Gingiva Normal
a. Warna
Warna attached gingiva dan marginal gingiva secara umum adalah merah muda dan dihasilkan oleh vaskularisasi. Warnanya bervariasi pada setiap orang dan berhubungan dengan pigmentasi kulit. Terlihat merah muda ini sebagai perbandingan atas mukosa mulut yang memerah yang terjadi karena penebalan dan keadaan keratinisasi dari epitel permukaan. Perubahan warna biasanya merupakan tanda yang nampak pertama kali pada penyakit periodontal. Jika warna sangat terang, indikasinya adalah anemia. Tapi, ketika warnanya lebih gelap, indikasinya inflamasi dan kongesti. Warnanya lebih terang pada orang kulit putih daripada kulit hitam. Menurut Dummet, distribusi pigmen pada orang kulit hitam yaitu gingiva 60%, palatum 61%, membran mukosa 22% dan lidah 15% (Carranza, 2002; Goldman, 1986; Grieder, 1968)


Gambar 2: Gingiva sehat dan periodontitis
http://www.arestin.com/images/illustration/a11_01.jpg
b. Ukuran
Ukuran gingiva dihubungkan dengan total jumlah seluler dan interseluler dan suplai vaskuler. Perubahan ukuran biasanya merupakan gambaran umum dari penyakit gingival (Carranza, 2002)

c. Kontur
Kontur atau bentuk gingiva bervariasi, tergantung pada bentuk gigi dan kesejajarannya pada lengkung gigi, lokasi, dan bentuk daerah kontak proksimal serta luas embrasur gingiva sebelah fasial dan lingual. Marginal gingiva mengelilingi gigi seperti kerah baju. Bentuk interdental gingiva ditentukan oleh bentuk permukaan proksimal gigi, lokasi, bentuk daerah kontak, dan luas embrasur gingiva.
d. Konsistensi
Konsistensi gingiva keras, kenyal, dan mengelilingi tulang dengan kuat. Susunan lamina propria secara alami dan hubungannya dengan mukoperiosteum tulang alveolar menentukan kerasnya attached gingiva. Serat gingiva menentukan kekerasan gingiva margin. Pada palpasi dengan instrumen yang tumpul, gingiva seharusnya kokoh. Attached gingiva terikat kuat dan berbatas rapat dengan jaringan keras di bawahnya. Pada free gingiva, meskipun dapat digerakkan sedikit namun dapat beradaptasi pada permukaan gigi (Carranza, 2002; Goldman, 1986)
e. Tekstur Permukaan
Umumnya, memiliki tekstur stippling pada derajat yang bervariasi. Permukaan ini digambarkan seperti kulit jeruk. Stippling lebih banyak pada daerah lingual dibanding daerah fasial. Stippling bervariasi sesuai dengan umur. Pada bayi tidak terdapat stippling, tetapi ada pada anak umur 5 tahun yang meningkat saat dewasa dan kemudian menghilang pada saat tua. Stippling adalah gambaran gingiva sehat dan pengurangan atau hilangnya stippling umumnya merupakan tanda dari penyakit gingiva, ketika gingiva dirawat maka stippling muncul kembali.
f. Proses Erupsi gigi
Menurut konsep erupsi (Gottlieb), erupsi tidak berhenti pada scat gigi bertemu antagonisnya tetapi berlanjut sepanjang hidup. Proses ini terdiri dari fase aktif dan fase pasif. Erupsi aktif adalah perjalanan gigi dalam arah oklusal plane dan erupsi pasif adalah pembukaan gigi dengan migrasi apikal dari gingival (Carranza, 2002)
2) Gambaran Mikroskopik Gingiva Normal
a. Epitel Gingiva
Walaupun epitel gingiva merupakan suatu lapisan dari epitel squamous stratified, tiga area berbeda dapat digambarkan dari pandangan fungsional dan morfologis, yaitu: Oral (outer) Epithelium, sulkular epitel, dan junctional epitel.
Secara prinsip, tipe sel dari epitel gingiva sama halnya dengan stratified squamous epitel, yaitu keratinosit. Sel-sel lain yang ditemukan dalam epitelium adalah sel-sel terang atau non keratinosit, yang meliputi sel¬-sel langerhans, sel-sel merkels dan melanosit

b. Oral Atau Outer Epitel
Oral (Outer) epithelium melapisi crest dan permukaan luar marginal gingiva serta permukaan attached gingiva. Epitel ini berkeratin atau parakeratin atau gabungan kedua kondisi ini (Carranza, 2002)
Hubungan antara oral epithelium dengan jaringan ikat di bawahnya diperantarai oleh lamina basal dengan ketebalan 300-400 A yang melapisi kira-kira 400 A lapisan epitel basal di bawahnya yang melapisi kira-kira 400 A lapisan epitel basal di bawahnya. Lamina basal terdiri dan lamina lucida dan lamina densa.
1. Sulcular Epitel
Sulcular epithelium sangat penting sebab bisa bertindak sebagai selaput semipermeabel yang mana produk basil bakteri yang berbahaya mengalir ke dalam gingiva dan cairan jaringan mengalir dari gingiva meresap ke dalam sulkus.
2. Junctional Epitel
Junctional epitel terdiri dari collar-like band dan stratified squamous epitel non keratinisasi. Junctional epitelium dibentuk oleh pertemuan dari oral epithelium dan epitel enamel yang berkurang selama erupsi gigi (Carranza, 2002)
c. Serabut Gingiva
Jaringan ikat gingiva tersusun teratur untuk menjaga agar tepi gingiva melekat erat di sekitar leher gigi dan untuk mempertahankan integritas perlekatan dentogingiva.
Susunan serabut-serabut ini cukup rumit tetapi dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok bundel serabut kolagen:
1. Serabut dentogingiva atau serabut gingiva bebas yang melekat pada sementum dan melebar ke luar ke gingiva dan ke atas tepi gingiva untuk bergabung dengan periosteum dari daerah perlekatan gingiva.
2. Serabut alveolar-gingiva atau serabut puncak tulang alveolar yang keluar dari puncak tulang alveolar dan berjalan ke koronal ke arah gingiva.
3. Serabut sirkular yang mengelilingi gigi.
4. Serabut transeptal yang berjalan dari satu gigi ke gigi lainnya di koronal ke septum alveolar ( Manson dan Eley, 1993)
d. Cairan Gingiva (Cairan Sulkular)
Bila sepotong kertas filter dipasang di dalam leher gingiva akan merangsang aliran keluar cairan. Keadaan ini juga berlangsung selama mastikasi, pada saat penyikatan gigi dan pada saat stimulasi lain dari gingiva; aliran akan bertambah besar bila gingiva terinflamasi. Hormon-hormon seks seperti estrogen, dan progesteron dapat memperbesar aliran, mungkin dengan cara meningkatkan permeabilitas pembuluh darah gingiva. Faktor-faktor kemotaksik tertentu yang terdapat di dalam plak juga dapat meningkatkan aliran. Cairan ini merupakan eksudat inflamasi dan mengandung leukosit polimorfonuklear serta substansi antimikrobial lainnya. Hal ini ikut mengambil bagian dari mekanisme pertahanan daerah pertautan dentogingiva. Ringkasnya, cairan gingiva berfungsi sebagai berikut:
1. mencuci daerah leher gingiva, mengeluarkan sel-sel epitelial yang terlepas, leukosit, bakteri, dan kotoran lainnya.
2. protein plasma dapat mempengaruhi perlekatan epitelial ke gigi.
3. mengandung agen antimikrobial misalnya lisosim.
4. membawa leukosit polimorfonuklear dan makrofag yang dapat membunuh bakteri. Juga menghantarkan immunoglobulin IgG, IgA, IgM, dan faktor-faktor lain dari sistem imun.
Jumlah cairan gingiva dapat diukur dan digunakan sebagi indeks dari inflamasi gingival ( Manson dan Eley, 1993)
e. Jaringan Penghubung Gingiva
Jaringan penghubung gingiva dikenal sebagai lamina propria. Lamina propria terdiri dua lapisan yaitu lapisan papillary yang berdekatan dengan epitel yang terdiri dan proyeksi papillary diantara rete pegs epitel, dan lapisan retikuler dengan periosteum dari tulang alveolar (Carranza, 2002)
3) Alveolar
Processus alveolaris adalah bagian tulang rahang yang menopang gigi
geligi. Processus ini sebagian bergantung pada gigi dan setelah tanggalnya gigi
akan terjadi resorpsi tulang. Processus alveolaris tidak terlihat pada keadaan
anodonsia. Tulang dari processus alveolaris tidak berbeda dengan tulang pada
bagian tubuh lainnya. Tulang ini mempunyai bidang fasial dan lingual dari tulang. kompakta yang dipisahkan oleh trabekulasi kanselus. Tulang kanselus ini
terorientasi di sekitar gigi untuk membentuk dinding soket gigi atau lamina
kribrosa. Dari namanya terlihat, lamina kribrosa terperforasi seperti saringan
sehingga sejumlah besar hubungan pembuluh vaskuler dan saraf dapat terbentuk
di antara ligamen periodontal dan ruang trabekula. Serabut kolagen dari ligamen
periodontal berinsersi pada dinding soket, disebut "bundel tulang". Serabut ligamen periodontal yang tertanam pada tulang di sebut serabut Sharpey.
Seperti tulang lainnya, tulang alveolar terus-menerus mengalami remodeling sebagai respon terhadap stres mekanis dan kebutuhan metabolisme terhadap ion fosfor dan kalsium. Pada keadaan sehat, remodeling processus berfungsi untuk mempertahankan volume keseluruhan dari tulang dan anatomi keseluruhan relatif stabil. Pada primata, gigi-geligi bergeser ke arah mesial bila terjadi keausan permukaan interproksimal, resorpsi pada mesial dan deposisi pada permukaan distal dinding soket terjadi bersamaan.
Bentuk rahang dan morfologi processus alveolaris bervariasi antara berbagai individu juga bentuk, besar serta ketebalan bidang kortikal dan septum interdental bervariasi pada berbagai daerah rahang. Tepi puncak tulang alveolar biasanya berjalan sejajar terhadap pertautan amelosemental pada jarak yang konstan (1-2 mm), tetapi hubungan ini biasanya bervariasi sesuai dengan aligmen gigi dan kontur permukaan akar. Bila gigi tergeser ke luar dari lengkung rahang, bidang alveolar di atasnya dapat sangat tipis atau bahkan terperforasi sehingga terbentuk fenestrasi (lubang kecil) atau dehiscense (celah). Cacat ini paling sering terbentuk di tulang daripada lingual dan lebih sering terjadi pada gigi anterior dari pada gigi posterior, walaupun dapat juga ditemukan pada akar palatal molar pertama atas bila akar-akar gigi tersebut divergen. Cacat ini sangat penting secara klinis karena bila terjadi akar gigi biasanya hanya tertutup oleh mukoperiosteum, sebagai contoh periosteum dan gingiva bagian luar atrofi pada keadaan iritasi akar akan terbuka. Bila akar gigi terletak berdekatan, tulang interdental biasanya tidak ada (Manson dan Eley, 1993)
4) Ligamen Periodontal
Ligamen adalah suatu ikatan, biasanya menghubungkan dua buah tulang. Akar gigi berhubungan dengan soketnya pada tulang alveolar melalui struktur jaringan ikat yang dapat dianggap sebagai ligamen, ligamen periodontal tidak hanya menghubungkan gigi ke tulang rahang tetapi juga menopang gigi pada soketnya dan menyerap beban yang mengenai gigi. Beban selama mastikasi, menelan dan berbicara sangat besar variasinya, juga frekuensi, durasi dan arahnya. Struktur ligamen biasanya menyerap beban tersebut secara efektif dan meneruskannya ke tulang pendukung (Manson dan Eley, 1993)
Ligamentum periodontal merupakan struktur jaringan konektif yang mengelilingi akar gigi dan mengikatnya ke tulang. Ligamentum periodontal ini merupakan lanjutan dari jaringan konektif gingiva dan berhubungan dengan ruang sumsum melalui saluran vaskuler dalam tulang (Carranza, 2002)
5) Serat-Serat Utama
a) Kelompok Transeptal
Serat ini merentang di daerah interproksimal di atas alveolar crest dan melekat pada sementum dari gigi tetangga. Serat-serat tersebut senantiasa tetap dijumpai sebab selalu direkonstruksi, meskipun terjadi kerusakan pada tulang alveolar akibat penyakit periodontal.
b) Kelompok Alveolar Crest
Serat ini merentang miring dari sementum di bawah juntion epithelium ke alveolar crest. Fungsi serat ini untuk mengimbangi tekanan koronal dari serat yang lebih apikal, sehingga membantu mempertahankan gigi di dalam soketnya dan menahan pergerakan gigi ke lateral. Meski bila serat diinsisi pada waktu pembedahan tidak secara nyata meningkatkan mobilitas gigi premolar normal.
c) Kelompok Horizontal
Serat ini merentang dalam arah tegak lurus terhadap aksis panjang gigi dari sementum hingga ke tulang alveolar. Fungsinya sama dengan serat alveolar crest.
d) Kelompok Oblique
Serat ini merupakan kelompok serat terbesar dari ligamentum periodontal, merentang miring dan sementum ke arah koronal hingga ke tulang alveolar. Serat ini menahan tekanan kunyah vertikal yang besar dan mengubahnya menjadi tarikan pada tulang alveolar.
e) Kelompok Apikal.
Serat ini menyebar dan sementum hingga ke tulang pada fundus dan soket. Kelompok ini tidak dijumpai pada akar gigi yang belum sempurna terbentuk.

6) Serat-Serat Lainnya
Bundel serat lainnya interdigitasi tegak lurus atau miring di sekeliling antara bundel serat yang tersusun secara teratur.
Serat kolagen yang tersusun kurang teratur ditemukan pada jaringan konektif intertisial antara kelompok serat-serat utama yang mengandung pembuluh darah, limfatik, dan saraf. Serat lainnya dari ligamentum periodontal merupakan serat elastis yang relatif sedikit dan disebut sebagai serat oksitalan (tahan asam) yang tersebar terutama di sekitar pembuluh darah dan melekat pada sementum pada sepertiga bagian servikal akar gigi. Fungsinya belum diketahui namun banyak peneliti percaya bahwa serat ini mewakili bentuk imatur dari elastin.
Serat kolagen kecil telah dideteksi berhubungan dengan serat kolagen utama yang besar. Serat ini muncul membentuk pleksus dan disebut sebagai serat indifferent (Carranza, 2002).
1) Pleksus Intermediat
Serat individu terdiri dari dua bagian terpisah yang saling berhubungan di tengah antara sementum dan tulang pada daerah yang disebut pleksus intermediat. Pleksus ini dilaporkan terdapat pada ligamentum periodontal dari incisivus binatang yang bertumbuh terus menerus, namun tidak pada gigi posterior, secara aktif erupsi pada gigi manusia dan monyet, namun bukan setelah gigi mencapai kontak oklusi.

2) Elemen Seluler
Elemen seluler dari ligamentum periodontal adalah fibroblast, sel endothelial, sementoblast, osteoblast, osteoklast, jaringan makrofag, dan sisa-sisa sel epithelial yang disebut sebagai sisa-sisa epitel mallassez atau sisa sel-sel epithelial. Ligamentum periodontal dapat juga mengandung massa terkalsifikasi yang disebut sementikal yang melekat atau terpisah dari permukaan akar (Carranza, 1984)
1. Fungsi Ligamentum Periodontal
Fungsi dari ligamentum periodontal adalah fungsi fisik, formatif, nutrisi, dan sensorik.
Fungsi Fisik
Fungsi fisik dan ligamentum periodontal adalah :
a. menyediakan " pelindung jaringan lunak " untuk melindungi pembuluh darah dan saraf dan cedera akibat tekanan mekanis
b. transmisi tekanan oklusal terhadap tulang
c. perlekatan gigi terhadap tulang
d. pemeliharaan jaringan gingiva dalam hubungannya dengan gigi
e. pertahanan terhadap benturan yang keras dari tekanan oklusal .
Fungsi formatif :
Sel-sel ligamentum periodontal berpartisipasi dalam pembentukan dan absorpsi dari sementum dan tulang dimana terjadi pergerakan gigi yang fisiologis dalam membantu periodonsium terhadap tekanan oklusal dan dalam memperbaikinya dan luka. Pembentukan tulang rawan pada ligamentum periodontal walaupun banyak sekali kemungkinan menunjukkan fenomena metaplastik dalam memperbaiki ligamentum ini setelah luka (Carranza, 2002)
Seperti seluruh struktur-struktur ligamentum periodontium, tetap terjadi remodeling ligamentum periodontal. Sel-sel tua, serat yang rusak dan menempatkan yang baru serta aktifitas mitosic dapat diamati dalam sel fibroblast dan sel endotel. Fibroblast merupakan serat kolagen dan mungkin juga berkembang dalam osteoblast sementoblast. Kecepatan pembentukan dan differensiasi dari fibroblast berefek pada kecepatan pembentukan kolagen, sementum, dan tulang. Pembentukan kolagen meningkat seiring kecepatan erupsi.
Fungsi nutrisi dan sensorik :
Ligamentum periodontal menyuplai nutrisi ke sementum, tulang, dan gingiva melalui pembuluh darah dan memberikan drainase limfatik. Ligamentum periodontal bersama dengan serabut saraf sensorik yang mampu memancarkan sensasi taktil, tekanan, dan rasa sakit oleh trigeminal pathways (Carranza, 2002)
e. Sementum
Sementum adalah jaringan mesenkim yang terkalsifikasi dan menutupi seluruh permukaan akar anatomis. Ada dua bentuk utama sementum akar yaitu aselluler (primer) dan selluler (sekunder). Keduanya terdiri dari matriks interfibriliar yang terkalsifikasi dan serat-serat kolagen. Sementum aselluler merupakan yang pertama dibentuk dan kira-kira menutupi 2/3 servikal dari akar. Dua sumber serat kolagen sementum adalah serabut sharpey's, yang merupakan serat utama pada ligamen periodontal dan dibentuk oleh fibroblas dan serabut yang dimiliki matriks sementum dan diproduksi oleh sementoblast. Sementoblast juga membentuk komponen nonkolagen dari unsur interfibriler, seperti proteoglikan, glikoprotein, dan phospoprotein (Carranza, 2002)
2. Gambaran Radiografi Jaringan Periodonsium
Gambaran radiografi mencerminkan produk radiodensitas dan berbagai jaringan yang terletak pada pancaran sinar-X sehingga hanya jaringan yang paling radiodensiti saja yang dapat dilihat di sini. Jadi, tulang interdental akan terlihat sedangkan bidang tulang bukal dan lingual hampir seluruhnya tertutup oleh gambaran gigi.
Dinding soket dan puncak septum interdental yang terlihat berupa radiopasitas, garis putih dan lamina dura mengelilingi soket. Adanya dan kejelasan struktur ini mencerminkan kontur puncak tulang alveolar dan soket gigi, dan variasi ketebalan garis putih atau tidak adanya garis tersebut tidak selalu berarti bahwa ada penyakit.
Karena lebar fasial-lingual dari septum interdental diantara gigi-gigi molar cukup besar, gambar puncak tulang terlihat berbatas jelas. Septum interdental diantara premolar dan insisivus umumnya lebih sempit, karena itu, umumnya lebih radiolusen dan gambar puncak tulang cenderung kurang berbatas jelas.
Ruang periodontal diantara struktur yang terkalsifikasi umumnya sangat sempit dan terlihat garis hitam yang tipis di sekitar akar gigi. Bila permukaan proksimal gigi lebar, garis ini akan terlihat lebih jelas daripada bila dimensi interproksimal sempit dan pada beberapa kasus garis tersebut bahkan tidak terlihat sama sekali. Bertambahnya stress fungsional akan menyebabkan penebalan ligamen periodontal yang dapat terlihat pada film radiografi. Sementum hanya dapat terlihat bila sudah terjadi hipersementosis (Carranza, 2002)

Gambar 3: Jaringan periodontal sehat dan berpenyakit
http://www.perio.org/consumer/graphics/toothdiagram.gif

B. Dampak Merokok Terhadap Rongga Mulut
1. Komposisi rokok
Asap rokok terdiri dari 4000 bahan kimia dan 200 diantaranya beracun, antara lain Karbon Monoksida (CO) yang dihasilkan oleh asap rokok dan dapat menyebabkan pembuluh darah kramp, sehingga tekanan darah naik, dinding pembuluh darah dapat robek. Gas CO dapat pula menimbulkan desaturasi hemoglobin, menurunkan langsung peredaran oksigen untuk jaringan seluruh tubuh termasuk miokard. CO menggantikan tempat oksigen di hemoglobin, mengganggu pelepasan oksigen, dan mempercepat aterosklerosis (pengapuran atau penebalan dinding pembuluh darah). Nikotin juga merangsang peningkatan tekanan darah. Nikotin mengaktifkan trombosit dengan akibat timbulnya adhesi trombosit (pengumpalan) ke dinding pembuluh darah. Nikotin, CO dan bahan lainnya dalam asap rokok terbukti merusak dinding pembuluh endotel (dinding dalam pembuluh darah), mempermudah pengumpalan darah sehingga dapat merusak pembuluh darah perifer.


Gambar 4: Kandungan zat kimia berbahaya pada sebatang rokok
http://novaku.files.wordpress.com/2006/12/kandungan_rokok.gif

Setiap batang rokok yang dinyalakan akan mengeluarkan lebih 4 000 bahan kimia beracun yang membahayakan dan boleh membawa maut. Dengan ini setiap sedotan itu menyerupai satu sedotan maut. Di antara kandungan asap rokok termasuklah bahan radioaktif (polonium-201) dan bahan-bahan yang digunakan di dalam cat (acetone), pencuci lantai (ammonia), ubat gegat (naphthalene), racun serangga (DDT), racun anai-anai (arsenic), gas beracun (hydrogen cyanide) yang digunakan di “kamar gas maut” bagi kriminal yang menjalani hukuman mati, dan banyak lagi. Bagaimanapun, racun paling penting adalah Tar, Nikotin dan Karbon Monoksida.
Tar mengandungi sekurang-kurangnya 43 bahan kimia yang diketahui menjadi penyebab kanker (karsinogen). Bahan seperti benzopyrene yaitu sejenis policyclic aromatic hydrocarbon (PAH) telah lama disahkan sebagai agen yang menyebabkan proses kejadian kanker.
Nikotin, seperti heroin, amfetamin, dan kokain, bereaksi di dalam otak dan mempunyai efek pada sistem mesolimbik yang menjadi puncak utama ketagihan. Sindrom ketagihan terhadap nikotin yang ditunjukkan dengan gejala gian, tolerans dan tarikan, adalah mungkin lebih hebat dibanding seperti heroin, amfetamin, dan kokain. Bahkan kajian saintifiknya nikotin itu juga sejenis heroin, amfetamin, ataupun kokain, seperti yang telah teliti oleh dunia farmasi. Seseorang yang kehabisan rokok kadangkala berkelakuan seperti mengalami gangguan akal dan dalam keadaan yang amat tertekan. Oleh karena itu terlalu sulit bagi orang yang telah terjerat dengan ketagiahan merokok, apalagi meninggalkan kebiasaan itu untuk selamanya, kecuali dengan kemauan yang serius bagi perokok.
Nikotin turut menjadi puncak utama risiko serangan penyakit jantung dan strok. Hampir satu perempat mangsa pesakit jantung adalah hasil puncak dari kebiasaan merokok. Di Malaysia, sakit jantung merupakan menyebab utama kematian sementara strok adalah pembunuh yang keempat.
Karbon Monoksida Juga adalah gas beracun yang biasanya dikeluarkan oleh asap kendaraan. Gas ini menyalurkan oksigen ke ruang-ruang hingga ionya menjadi terurai dan akhirnya bisa menyebabkan kematian apabila karbon monoksida di dalam badan melebihi 60%.
Apabila racun rokok itu memasuki tubuh manusia ataupun hewan, ionya akan membawa kerusakan pada setiap organ yang dilaluinya, yaitu bermula dari hidung, mulut, tenggorokan, saluran pernafasan, paru-paru, saluran pencernaan, saluran darah, jantung, organ vital, ketika sebahagian dari racun-racun itu dikeluarkan dari badan, kemudian ke saluran kencing dan pundi kencing.
Meski semua orang tahu akan bahaya yang ditimbulkan akibat rokok, perilaku merokok tidak pernah surut dan tampaknya merupakan perilaku yang masih ditolerir oleh masyarakat. Dalam asap rokok terdapat 4000 zat kimia berbahaya untuk kesehatan, dua diantaranya adalah nikotin yang bersifat adiktif dan tar yang bersifat karsinogenik. Racun dan karsinogen yang timbul akibat pembakaran tembakau dapat memicu terjadinya kanker. Pada awalnya rokok mengandung 8-20 mg nikotin dan setelah dibakar nikotin yang masuk ke dalam sirkulasi darah hanya 25%. Walau demikian jumlah kecil tersebut memiliki waktu hanya 15 detik untuk sampai ke otak manusia (Setyiowati, 2005)
Beberapa risiko kesehatan bagi perokok berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2004 antara lain : (Setyiowati, 2005)
a. Di Indonesia rokok menyebabkan 9,8% kematian karena penyakit paru kronik dan emfisima pada tahun 2001.
b. Rokok merupakan penyebab dari sekitar 5 % stroke di Indonesia.
c. Wanita yang merokok mungkin mengalami penurunan atau penundaan kemampuan hamil, pada pria meningkatkan resiko impotensi 50%.
d. Ibu hamil yang merokok selama masa kehamilan ataupun terkena asap rokok dirumah atau di lingkungannya beresiko mengalami proses kelahiran yang bermasalah.
e. Seorang bukan perokok yang menikah dengan perokok mempunyai risiko kanker paru sebesar 20-30% lebih tinggi daripada mereka yang pasangannya bukan perokok dan juga risiko mendapatkan penyakit jantung.
f. Lebih dari 43 juta anak Indonesia berusia 0-14 tahun tinggal dengan perokok di lingkungannya mengalami pertumbuhan paru yang lambat, dan lebih mudah terkena infeksi saluran pernafasan, infeksi telinga dan asma.












Gambar 5 : Gambaran umum seorang perokok dan kondisi rongga mulutnya
http://grapegums.com/images/1.jpg



2. Hubungan merokok dan penyakit periodontal (periodontitis)
Periodontitis adalah Penyakit radang kronis yang terjadi akibat aktivitas plak bakteri, yang diawali oleh timbulnya radang pada gusi dan berlanjut hingga terbentuknya poket gigi, kehilangan perlekatan tulang dan berakhir pada tanggalnya gigi. Perokok mempunyai resiko yang besar untuk perkembangan penyakit periodontal menjadi lebih parah dibandingkan dengan bukan perokok. Ini dikaitkan dengan lemahnya mekanisme pertahanan tubuh para perokok sehingga lebih rawan terkena penyakit periodontal (Gupran, 1993).
Penelitian-penelitian mengenai hubungan merokok dengan penyakit periodontal juga sudah dilaporkan; perokok menderita periodontitis yang lebih parah dan mempunyai insidens acute ulcerative gingivitis yang lebih tinggi daripada bukan perokok (Gupran, 1993)
Merokok sebagai faktor resiko terbesar untuk peningkatan prevalensi dari kerusakan periodontal. Bebarapa peneliti yang dilakukan telah menunjukkan bahwa lubang yang dalam, kehilangan attachment, kehilangan tulang alveolar lebih tinggi daripada yang merokok dibanding yang tidak merokok, perkiraan terhadap hubungan antara merokok dan periodontitis ditunjukkan lebih dari 12.000 gigi manusia pada umur di atas 18 tahun sesuai dengan uji kesehatan dan nutrisi nasional. Merokok dan tidak merokok adalah mereka yang tidak mengisap kurang dari atau sama dengan 100 rokok selama hidupnya. Melalui penelitin terhadap 12.000 orang, 9,2% menderita periodontitis. Ini membuktikan 15 juta kasus periodontitis di US. Menurut rata-rata, perokok 4 kali lebih beresiko menderita periodontitis dibanding orang yang tidak merokok setelah menyesuaikan umur, jenis kelamin,etnik, pendidikan, dan pendapatan. Perokok hebat 1,68 kali lebih beresiko dibanding mereka yang tidak merokok. Studi ini juga menunjukkan hubungan respon dosis antara rokok yang diisap per hari dan kemungkinan periodontitis (Novak, 2002).

Gambar 6: Periodontitis Kronis
http://topnews.in/healthcare/sites/default/files/Gums-D.jpg

Penyakit periodontal merubah warna jaringan mukosa. Pigmentasi pada gusi lebih buruk, dimana permiabilitas vaskuler meningkat dan membentukan logam pada jaringan lunak.
Orang yang merokok lebih besar dari 9 rokok sehari, kemungkinan 2,79. Sedangkan yang merokok kurang dari 31 rokok sehari mendekati 6 kali lebih besar. Sebuah data dari metaanalisis dari 6 peneliti terhadap 2361 orang mengidentifikasi bahwa perokok 3 kali lebih mungkin terkena periodontitis dibanding bukan perokok. Pengaruh merokok pada periodontal dan gigi orang dewasa sudah didemonstrasikan, orang dewasa yang lebih tua 3 kali lebih besar kemungkinannya untuk menderita periodontitis dan lama penggunaan tembakau adalah faktor yang signifikan pada rontoknya gigi. Orang dewasa pada umur 19 sampai 30 tahun yang merokok 3,8 kali lebih besar kemungkinannya menderita periodontitis dibanding yang tidak merokok. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa anak muda yang merokok lebih tinggi dari 15 rokok sehari menunjukkan resiko lebih tinggi mengalami kerontokan gigi dan pada perokok yang melebihi itu lebih besar kemungkinannya daripada yang tidak merokok untuk menunjukkan kehilangan attacment, sehingga kerusakan jaringan periodontalnya (periodontitis) lebih besar (Novak, 2002)

Gambar 7 : Stain yang diakibatkan oleh rokok
http://www.smile-on.com/uploads/Smoking_article/figure_1.jpg



C. Kebutuhan Perawatan Periodontal Komunitas (Community Periodontal Index Of Treatment Needs-CPITN)
Pada umumnya, pendataan prevalensi suatu penyakit dimaksudkan untuk mengetahui pola dan frekuensi suatu penyakit tertentu. Di samping itu, juga dimaksudkan untuk menentukan langkah-langkah pencegahan dan penanggulangannya atas dasar data yang diperoleh. Masalah yang terjadi di bidang periodontologi adalah beraneka ragamnya indeks yang digunakan untuk pengumpulan data yang pada umumnya skoringnya tidak dikaitkan dengan kebutuhan perawatan yang diperlukan. Oleh karena itu, pada permulaan dekade delapan puluhan, setelah mempelajari indeks-indeks yang digunakan untuk menetapkan prevalensi dari berbagai bentuk penyakit periodontal serta kemungkinan penyebabnya, WHO telah menyarankan pengumpulan data dengan menggunakan CPITN (Community Periodontal Index of Treatment Needs) (Prayitno, 1992)
Untuk memberikan pelayanan kesehatan yang adekuat bagi komunitas tertentu, seringkali perlu ditentukan kebutuhan perawatan. CPITN terbukti merupakan sistem yang paling sering Digunakan untuk tujuan ini (Manson dan Eley, 1993)
Prinsip kerja CPITN ada beberapa hal yaitu :
1. Mempergunakan sonde khusus yang disebut WHO periodontal examining probe
2. Terdapat sextan yang meliputi 6 buah sextan
3. Terdapat gigi index
4. Terdapat nilai (skor) untuk berbagai tingkatan kondisi jaringan periodontal
5. Kriteria khusus untuk setiap kondisi jaringan periodontal.
Sonde khusus
Untuk menentukan kondisi jaringan periodontal, dipergunakan sonde khusus yang ujung sondenya merupakan sebuah bola kecil yang berdiameter 0,5 mm.
• Sonde ini dimasukkan ke dalam saku gusi untuk melihat adanya perdarahan atau kedalaman poket.
• Alat ini dipakai juga sebagai alat peraba adanya karang gigi.
• Bilamana dalamnya poket antara 4-5 mm, sebagian warna hitam masih terlihat.
• Adapun kedalaman poket 6 mm atau lebih, maka seluruh bagian sonde yang berwarna hitam sudah tidak terlihat (Julianti, 2001)
WHO periodontal probe digunakan untuk menentukan dalamnya poket, merasakan adanya karang gigi serta melihat ada tidaknya perdarahan. Caranya, tanpa menyebabkan rasa sakit atau tidak enak probe dimasukkan ke dalam saku gigi, dengan ujungnya yang berupa bola digeserkan mengikuti konfigurasi anatomi dari permukaan akar gigi.
Sextan ditentukan oleh gigi-gigi berikut:
17-14 13 - 23 24 - 27
47 - 44 43 - 33 34 - 37
Pencatatan untuk setiap sextan berdasarkan apa yang ditemukan pada gigi-gigi indeks berikut:
17, 16 11 26, 27
47, 46 31 36, 37
Walaupun kesepuluh gigi index tersebut diperiksa, hanya enam skor yang dicatat, masing-masing satu skor untuk setiap sextan. Bilamana kedua gigi index molar ada di dalam mulut, maka keadaan terburuk atau skor tertinggi saja yang dicatat untuk sextan tersebut.
Bilamana di suatu sextan tidak terdapat gigi indeks, maka semua sisa gigi yang terdapat pada sextan tersebut diperiksa dan hanya skor tertinggi saja yang dicatat pada sextan tersebut.
Pada anak-anak di bawah umur 20 tahun, gigi molar kedua tidak digunakan sebagai gigi indeks oleh karena kemungkinan adanya false pocket. Untuk alasan yang sama, tidak dilakukan probing untuk melihat dalamnya poket pada anak-anak di bawah umur 15 tahun (Wibowo, 1987)












Gambar 8: Pengukuran menggunakan Probe Periodontal.
http://www.tomkepic.com/Periodontal_Disease/Perio Disease Fig 1.jpg


Penilaian (skor) untuk Tingkat Kondisi Jaringan Periodontal
Nilai/Skor Kondisi Jaringan Periodontal Keterangan
0 Sehat Periodontal sehat, tidak ada perdarahan, karang gigi, dan poket.
1 Perdarahan Perdarahan tampak secara langsung atau dengan kaca mulut setelah selesai perabaan dengan sonde.
2 Adanya kalkulus Perubahan dengan sonde terasa kasar, adanya karang gigi

3 Poket 4-5 mm Sebagian warna hitam pada sonde masih terlihat dari tepi gusi pada daerah hitam.
4 Poket 6 mm atau lebih Seluruh warna hitam pada sonde tidak terlihat, masuk ke dalam jaringan periodontal.
Tabel 1. Penilaian (skor) untuk tingkat kondisi jaringan periodontal ( Julianti , 2001)
Dari data status periodontal yang diperoleh dengan menggunakan kode tersebut, perawatan dikategorikan sebagai berikut :
0 : tidak memerlukan perawatan
1 : peningkatan kebersihan mulut/penyuluhan
2 : peningkatan kebersihan mulut/penyuluhan dan skeling
3 : peningkatan kebersihan mulut / penyuluhan, skeling, kuretase, bedah periodontal (Ainamo dkk, 1982)









Gambar 9: Probing periodontal dan gambaran radiografi jaringan periodonsium tidak sehat (periodontitis)
http://www.stevedds.com/perioxray.jpg

Kelemahan CPITN untuk menetapkan kebutuhan perawatan
Indeks CPITN mempunyai keterbatasan-keterbatasan, dan data yang diperoleh dari penggunaan indeks ini masih dapat disalah tafsirkan. CPITN disusun berdasarkan konsep progres penyakit secara linear dan kontinyu. Tetapi karena adanya perubahan konsep penyakit periodontal akhir-akhir ini, tampaknya kebutuhan untuk menghilangkan semua poket dan anjuran untuk menghilangkan plak masih merupakan suatu pertanyaan. Apakah gingivitis itu merupakan suatu penyakit atau sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap plak. Hal ini ditinjau dari tingginya prevalensi gingivitis yang dilaporkan. Demikian juga banyak dilaporkan bahwa kebanyakan gingivitis bersifat statis dan tidak berkembang menjadi periodontitis seperti yang diperkirakan semula.
Kriteria (skoring) CPITN untuk mengkategorikan status periodontal valid, tetapi penggunaan gigi-gigi indeks dapat menghasilkan estimasi yang rendah pada status periodontal. Disamping itu, kalkulasi tiap sextan dan tiap individu dapat menimbulkan estimasi yang berlebihan untuk kebutuhan perawatan, khususnya untuk kode 3 dan kode 4 (poket 4-5 mm, poket sama/lebih besar dari 6 mm) (Prayitno, 1992).
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis penelitian : Observasi Analitik
B. Desain penelitian : Cross sectional
C. Lokasi penelitian : RW 3 Kel.Karang Anyar, Kec.Mamajang, Kota Makassar
D. Waktu penelitian : Sabtu-Selasa, 06-09 Januari 2010
E. Populasi dan Sampel
1. Populasi penelitian : Perokok pada masyarakat usia 20-50 tahun di RW 3 Kel.Karang Anyar, Kec.Mamajang, Kota Makassar
2. Metode sampling : Purposif sampling
3. Kriteria sampling : - Laki-laki berusia minimal 20 tahun
- Jumlah rokok yang diisap min 5 batang/hari
4. Besar sampel : 153 Orang
Jumlah keseluruhan populasi laki-laki berusia antara 20 sampai 50 tahun di RW 3 Kelurahan Karang Anyar yang ada 250 orang. Besar sampel diperoleh dengan perhitungan.
N
n =
1+N(d)2

250
n = = 153
1+(250)(0,05)2
Jadi, besar sampel sebanyak 153 orang
Keterangan :
n = Jumlah sampel
N = Jumlah Populasi awal
d = Tingkat kesalahan
Dengan d = 0,05
F. Alat dan bahan
a. Alat yang digunakan :
- Kaca mulut
- Sonde
- Nierbecken
- Pinset
- Lembaran kartu pemeriksaan
b. Bahan yang digunakan :
- Gelas dan air
- Kapas
- Betadine
- Alcohol
G. Data
a. Jenis data : Data primer
b. Penyajian data : Disajikan dalam bentuk table
c. Pengolahan data : Secara komputer dengan program SPSS 13,0

H. Definisi operasional
• CPITN
Suatu pengukuran yang mengklasifikasikan status periodontal suatu individu atau populasi dalam suatu gambaran yang diambil berdasarkan prevalensi tingkat keparahan. Indeks ini dicatat berdasarkan pengukuran probe periodontal dan status jaringan gingiva.
I. Jalannya penelitian
1. Sampel diperiksa berdasarkan 6 segmen yaitu Molar kanan atas (16), incisivus kanan atas (11), molar kiri atas (26), molar kiri bawah (36), incisivus kiri bawah (31), dan molar kanan bawah (46).
2. Untuk keadaan periodontal sehat, diberikan skor CPITN yaitu skor 0, bila terjadi perdarahan diberi skor 1, bila terlihat kalkulus supragingiva/subgingiva diberi skor 2, untuk kedalaman poket 4-5 mm diberi skor 3, dan untuk kedalaman poket lebih dari 6 mm diberi skor 4.
3. Dari keseluruhan skor yang didapatkan dari tiap segmen, di tentukan skor tertinggi untuk menentukan nilai kemaknaan CPITN.




BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Hasil penelitian
Penelitian ini di laksanakan di RW 3 Kelurahan Karang Anyar Kecamatan Mamajang Kota Makassar. Responden semuanya adalah laki – laki yang merokok sebanyak 153 orang. Penelitian ini menggunakan Kuesioner dan melakukan pemeriksaan gigi untuk mengetahui CPITN dan kebutuhan perawatan.

Tabel 1
Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok umur
Kelompok Umur (tahun) Frekuensi Persen
20 - 29 66 43,1
30 - 39 38 24,8
40 - 50 49 32,1
Jumlah 153 100,0
Sumber : data primer

Tabel 1 menunjukkan bahwa umur responden bervariasi mulai dari 17 tahun hingga 50 tahun, dengan frekuensi tertinggi pada umur 20 – 29 tahun sebanyak 66 orang (43,1%) dan terendah pada kelompok umur 30 – 39 tahun sebanyak 38 orang ( 24,8%).

Hal ini dapat juga dilihat pada grafik berikut :
Grafik 1
Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok umur


Distribusi responden berdasarkan lama merokok dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2
Distribusi Responden Berdasarkan Lama Merokok
Lama merokok (tahun) Frekuensi Persen
1 - 5 17 11,1
> 5 136 88,9
Jumlah 153 100,0
Sumber : data primer
Tabel 2 menunjukkan bahwa umumnya responden telah lama merokok yaitu lebih dari 5 tahun sebanyak 136 orang ( 88,9%).

Hal ini dapat juga dilihat pada grafik berikut :
Grafik 2
Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok umur


Distribusi responden berdasarkan jumlah merokok dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 3
Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Rokok
Jumlah rokok Frekuensi Persen
Perokok ringan 42 27,5
Perokok sedang 100 65,4
Perokok berat 11 7,2
Jumlah 153 100,0
Sumber : data primer
Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden termasuk perokok sedang (10 – 20 btang per hari) yaitu 100 orang ( 65,4%), dan paling sedikit yang termasuk perokok berat (> 20 batang perhari) sebanyak 11 orang ( 7,2%).

Hal ini dapat juga dilihat pada grafik berikut :
Grafik 3
Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Rokok

Distribusi responden berdasarkan skor CPITN dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4
Distribusi Responden Menurut Skor CPITN
CPITN Frekuensi Persen
Tidak terdapat perdarahan (0) 14 9,2
Perdarahan pada probing margin gingival (1) 10 6,5
Terdapat kalkulus (2) 66 43,1
Poket patologis 4-5 mm (3) 49 32,0
Poket patologis 6 mm (4) 14 9,2
Jumlah 153 100
Sumber : data primer
Tabel 4 menunjukkan bahwa skor CPITN responden yang sehat/tidak butuh perawatan (skor 0) sebanyak 14 orang (9,256), perdarahan pada probing /membutuhkan perawatan (skor 1) sebanyak 10 orang (6,5%), mempunyai kalkulus yaitu 66 orang (43,1%) dan poket patologis 4-5 mm sebanyak 49 orang (32,0%) (skor 2) dan poket patologis 6 mm 14 orang (9,2%) (skor 3)
Hal ini dapat juga dilihat pada grafik berikut :
Grafik 4
Distribusi Responden Berdasarkan Skor CPITN

Distribusi skor CPITN berdasarkan kelompok umur dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5
Distribusi CPITN Berdasarkan Kelompok umur
Kelompok umur CPITN Jumlah
Tidak terdapat perdarahan Perdarahan pada probing margin gingiva Terdapat kalkulus Poket patologis 4-5 mm Poket patologis 6 mm
n % n % N % n % n % n %
20 – 29 8 12,1 8 12,1 36 54,5 13 19,7 1 1,5 66 100,0
30 – 39 3 7,9 1 2,6 15 39,5 15 39,5 4 10,5 38 100,0
40 – 50 3 6,1 1 2,0 15 30,6 21 42,9 9 18,4 49 100,0
Jumlah 14 9,2 10 6,5 66 43,1 49 32,0 14 9,2 153 100,0
Sumber : data primer

Tabel 5 menunjukkan bahwa responden yang mempunyai gigi masih sehat lebih banyak berumur 20 – 29 tahun yaitu 8 orang ( 12,1%) dibandingkan berumur 40 – 50 tahun yaitu 3 orang ( 6,1%). Responden yang terdapat kalkulus lebih banyak berumur 20 – 29 tahun yaitu 36 orang (54,5%) dibandingkan berumur 40 – 50 tahun yaitu 15 orang (30,6%). Responden yang mempunyai kedalaman poket 6 mm lebih banyak berumur 40 – 50 tahun yaitu 9 orang (18,4%) dibandingkan berumur 20 – 29 tahun yaitu 1 orang ( 1,5%)

Tabel 6
Hubungan Lama Merokok Dengan CPITN
Lama Merokok CPITN Jumlah p
Tidak terdapat perdarahan Perdarahan pada probing margin gingiva Terdapat kalkulus Poket patologis 4-5 mm Poket patologis 6 mm
n % n % N % n % n % n %
1 - 5 3 17,6 4 23,5 7 41,2 2 11,8 1 5,9 17 100,0 0,013
> 5 11 8,1 6 4,4 59 43,4 47 34,6 13 9,6 136 100,0
Jumlah 14 9,2 10 6,5 66 43,1 49 32,0 14 9,2 153 100,0
Sumber : data primer
Tabel 6 menunjukkan bahwa responden yang mempunyai gigi masih sehat lebih banyak merokok 1-5 tahun yaitu 3 orang (17,6%) dibandingkan yang telah merokok lebih dari 5 tahun yaitu 11 orang (8,1%). Responden yang terdapat kalkulus lebih banyak telah merokok lebih drai 5 tahun yaitu 59 orang (43,4%) dibandingkan merokok 1-5 tahun (41,2%). Responden yang mempunyai kedalaman poket 6 mm lebih banyak merokok lebih 5 tahun (9,6%) dibandingkan yang merokok 1-5 tahun yaitu 1 orang ( 5,9%)
Hasil uji statistik dengan chi square diperoleh nilai p= 0,013 ( p<0,05). Hal ini berarti ada hubungan antara lama merokok dengan skor CPITN. Tabel 7 Hubungan Jumlah Rokok Dengan Indeks Kebersihan Mulut Jumlah rokok CPITN Jumlah p Tidak terdapat perdarahan Perdarahan pada probing margin gingiva Terdapat kalkulus Poket patologis 4-5 mm Poket patologis 6 mm n % n % N % n % n % n % Perokok Ringan 7 16,7 4 9,5 21 50,0 8 19,0 2 4,8 42 100,0 0,081 Perokok Sedang 6 6,0 6 6,0 42 42,0 37 37,0 9 9,0 100 100,0 Perokok Berat 1 9,1 0 0,0 3 27,3 4 36,4 3 27,3 11 100,0 Jumlah 14 9,2 10 6,5 66 43,1 49 32,0 14 9,2 153 100,0 Sumber : data primer Tabel 7 menunjukkan bahwa responden yang mempunyai gigi masih sehat lebih banyak perokok ringan yaitu 7 orang (16,7%) dibandingkan perokok sedang yaitu 6 orang (6,0%). Responden yang terdapat kalkulus lebih banyak perokok ringan yaitu 21 orang (50,0%) dibandingkan perokok berat yaitu 3 orang (27,3%). Responden yang mempunyai kedalaman poket 6 mm lebih banyak perokok sedang yaitu 3 orang (27,3%) dibandingkan perokok ringan yaitu 2 orang (4,8%) Hasil uji statistik dengan chi square diperoleh nilai p= 0,081 ( p>0,05). Hal ini berarti tidak ada hubungan antara jumlah rokok yang diisap per hari dengan skor CPITN.

BAB V
PEMBAHASAN

Kebiasaan merokok menjadi penyebab penyakit mulut dan gigi. Merokok mengakibatkan gigi berwarna coklat atau kusam, mudah terkena gingivitis, nafas berbau tidak sedap, pra kanker dan kanker mulut. Rokok mempunyai efek terhadap perubahan warna gigi geligi dan bertambahnya plak, serta bau mulut, perubahan pada mukosa mulut kanker di dalam rongga mulut biasanya dimulai dengan adanya iritasi dari produk-produk rokok yang dibakar dan diisap. Iritasi ini menimbulkan lesi putih yang tidak sakit. Selain itu merokok juga dapat menimbulkan kelainan-kelainan rongga mulut, misalnya: pada lidah, gusi, mukosa mulut, gigi dan langit-langit yang berupa stomatitis nikotin dan infeksi jamur (Natamiharja, 2001)
Merokok mengganggu kesehatan, kenyataan ini tidak dapat kita pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk merokok, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kebiasaan merokok bukan saja merugikan si perokok, tetapi juga bagi orang di sekitarnya. Asap rokok merupakan polutan bagi manusia dan lingkungan sekitarnya. Bukan hanya bagi kesehatan, merokok menimbulkan pula problem di bidang ekonomi. Di negara industri maju, kini terdapat kecenderungan berhenti merokok, sedangkan di negara berkembang, khususnya Indonesia, malah cenderung timbul peningkatan kebiasaan merokok (Wu, 2009)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang sehat /tidak butuh perawatan (skor 0) sebanyak 14 orang (9,256), perdarahan pada probing /membutuhkan perawatan (skor 1) sebanyak 10 orang (6,5%). Perdarahan gusi disebabkan adanya mikroulserasi yang sering terjadi pada epitel yang melapisi dinding jaringan lunak gusi. Gejala-gejala awal adanya peradangan gusi adalah meningkatnya tekanan cairan di dalam gusi dan adanya perdarahan gusi pada probing (Widyastuti, 2003).
Hanya probing untuk memeriksa perdarahan gusi yang praktis dipakai di klinik, meskipun cara pemeriksaan ini terbatas hanya menggambarkan aktivitas lesi pada gusi saja, dapat diandalkan untuk mendiagnosa lesi periodontal pada tahap dini. Dengan dapat disimpulkan bahwa perawatan periodontal harus dilakukan apabila dijumpai perdarahan gusi pada pemeriksaan probing (Widyastuti, 2003)
Tanda-tanda klinis dari peradangan visual (kemerahan dan pembengkakan) dan pendarahan ketika probing dapat digunakan untuk menilai keadaan jaringan periodontal. pendarahan ini disebabkan adanya mikroulserasi yang sering terjadi pada epitel yang melapisi jaringan lunak gusi. Gejala-gejala awal adanya peradangan gusi adalah meningkatnya tekanan cairan di dalam gusi dan adanya pendarahan gusi saat probing (Carranza, 2002).
Responden yang mempunyai kalkulus yaitu 66 orang (43,1%) dan poket patologis 4-5 mm sebanyak 49 orang (32,0%) (skor 2). Kalkulus merupakan kalsifikasi dari plak yang biasanya ditutupi oleh lapisan lembut dari bakteri plak. Meskipun kalkulus gigi sendiri demikian juga plak bukanlah penyakit seperti karies gigi atau gingivitis, tetapi erat hubungannya dengan timbulnya penyakit periodontal. Selama masih ada karang gigi, gangguan periodontal di tempat itu tidak dapat sembuh. Oleh karena itu, menghilangkannya adalah suatu tindakan preventif yang utama.
Responden yang mempunyai poket patologis 6 mm 14 orang (9,2%) (skor 3) yang membutuhkan perawatan lebih kompleks.
Responden yang mempunyai gigi masih sehat lebih banyak berumur 20 – 29 tahun yaitu 8 orang ( 12,1%). Responden yang terdapat kalkulus lebih banyak berumur 20 – 29 tahun yaitu 36 orang (54,5%). Responden yang mempunyai kedalaman poket 6 mm lebih banyak berumur 40 – 50 tahun yaitu 9 orang (18,4%).
Bahaya merokok terhadap kesehatan tubuh telah diteliti dan dibuktikan banyak orang. Efek-efek yang merugikan akibat merokok pun sudah diketahui dengan jelas. Banyak penelitian membuktikan kebiasaan merokok meningkatkan resiko timbulnya berbagai penyakit seperti penyakit jantung dan gangguan pembuluh darah, kanker paru-paru, kanker rongga mulut, kanker laring, kanker esofagus, bronkhitis, tekanan darah tinggi, impotensi serta gangguan kehamilan dan cacat pada janin. Pada kenyataannya kebiasaan merokok ini sulit dihilangkan dan jarang diakui orang sebagai suatu kebiasaan buruk. Apalagi orang yang merokok untuk mengalihkan diri dari stres dan tekanan emosi, lebih sulit melepaskan diri dari kebiasaan ini dibandingkan perokok yang tidak memiliki latar belakang depresi (Sumonomo, 2007).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama merokok berhubungan dengan kebutuhan perawatan. Apabila dikaitkan dengan kebersihan mulut, maka rokok itu mempunyai efek yang paling jelas yakni terjadinya perubahan warna gigi geligi dan bertambahnya plak, serta bau mulut, perubahan pada mukosa mulut kanker di dalam rongga mulut biasanya dimulai dengan adanya iritasi dari produk-produk rokok yang dibakar dan diisap. Iritasi ini menimbulkan lesi putih yang tidak sakit. Selain itu merokok juga dapat menimbulkan kelainan-kelainan rongga mulut, misalnya : pada lidah, gusi, mukosa mulut, gigi dan langit-langit yang berupa stomatitis nikotin dan infeksi jamur (Yenni, 2007).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah rokok yang diisap per hari berhubungan dengan kebersihan mulut. Pada perokok berat, merokok menyebabkan rangsangan pada papilla filiformis (tonjolan/juntai pada lidah bagian atas) sehingga menjadi lebih panjang (hipertropi). Disini hasil pembakaran rokok yang berwarna hitam kecoklatan mudah dideposit, sehingga perokok sukar merasakan rasa pahit, asin, dan manis, karena rusaknya ujung sensoris dari alat perasa (tastebuds) (Wheeler, 1996).
Jumlah karang gigi pada perokok cenderung lebih banyak daripada yang bukan perokok. Karang gigi yang tidak dibersihkan dapat menimbulkan berbagai keluhan seperti gingivitis atau gusi berdarah. Disamping itu hasil pembakaran rokok dapat menyebabkan gangguan sirkulasi peredaran darah ke gusi sehingga mudah terjangkit penyakit. Merokok merupakan salah satu faktor penyebab Leukoplakia yaitu suatu bercak putih atau plak pada mukosa mulut yang tidak dapat dihapus. Hal ini bisa dijumpai pada usia 30-70 tahun yang mayoritas penderitanya pria terutama yang perokok. Menurut penelitian Silverman dari semua kasus Leukoplakia 95% adalah perokok. Iritasi yang terus menerus dari hasil pembakaran tembakau menyebabkan penebalan pada jaringan mukosa mulut. Sebelum gejala klinis terlihat, iritasi dari asap tembakau ini menyerang sel-sel epitel mukosa sehingga aktifitasnya meningkat. Gejala ini baru terlihat bila aktifitas seluler bertambah dan epitel menjadi tebal, terutama tampak pada mukosa bukal (mukosa yang menghadap pipi) dan pada dasar mulut.
Perubahan mukosa mulut terlihat sebagai bercak putih. Bercak putih tersebut mungkin disebabkan karena epitel yang tebal jenuh dengan saliva (air ludah). Para ahli mengatakan bahwa leukoplakia merupakan lesi pra-ganas di dalam mulut. Perubahan leukoplakia menjadi ganas 3-6%. Gigi dapat berubah warna karena tembakau. Pada mulanya noda ini dianggap disebabkan oleh nikotin, tetapi sebetulnya adalah hasil pembakaran tembakau yang berupa tar. Nikotin sendiri tidak berwarna dan mudah larut. Shafer dan kawan-kawan mengatakan bahwa warna coklat terjadi pada perokok biasa, sedang warna hitam terjadi pada perokok yang menggunakan pipa. Noda-noda tersebut mudah dibersihkan karena hanya terdapat di dataran luar gigi. Tetapi pada orang yang merokok selama hidupnya, noda tersebut dapat masuk ke lapisan email gigi bagian superficial dan sukar untuk dihilangkan (Yenni., 2007)
Responden yang mempunyai gigi masih sehat lebih banyak merokok 1-5 tahun dibandingkan yang telah merokok lebih dari 5 tahun Responden yang mempunyai kedalaman poket 6 mm lebih banyak merokok lebih 5 tahun.

Resiko gingivitis pada perokok lebih tinggi, keadaan penyakit periodontal sedang-berat pada perokok 2,7 kali lebih tinggi, dan resiko kehilangan gigi sebab penyakit periodontal pada perokok lebih meningkat dibandingkan pada bukan perokok (Mustaqimah,2003).
Pada perokok yang menggunakan pipa, sering dijumpai adanya stomatitis nikotina. Gejalanya antara lain adanya kemerahan di daerah palatum, yang akhirnya menjadi keabu-abuan dan kemungkinan mengkerut. Pada waktunya, terlihat pertumbuhan bercak putih yang kecil pada palatum molle dekat duktus kelenjar liur. Stomatitis seperti ini jarang berkembang menjadi kanker. Menghentikan kebiasaan merokok dengan pipa, biasanya akan menyelesaikan masalah ini. Pada perokok sigaret, perubahan biasanya lebih luas. Mukosa bukal pipi tampak berwarna putih susu, terutama pada daerah komisura, dan menghilang ke daerah gigi geraham besar. Pasien yang sering membiarkan sigaret tetap tergantung di bibir sering mengalami pembentukan groove yang dapat terkeratinisasi (Gupran, 1993)
Rongga mulut sangat mudah terpapar efek yang merugikan akibat merokok. Terjadinya perubahan dalam rongga mulut sangat masuk di akal karena mulut merupakan awal terjadinya penyerapan zat-zat hasil pembakaran rokok. Temperatur rokok pada bibir adalah 300C, sedangkan ujung rokok yang terbakar bersuhu 9000C. Asap panas yang berhembus terus menerus ke dalam rongga mulut merupakan rangsangan panas yang menyebabkan perubahan aliran darah dan mengurangi pengeluaran ludah. Akibatnya rongga mulut menjadi kering dan lebih anaerob (suasana bebas zat asam) sehingga memberikan lingkungan yang sesuai untuk tumbuhnya bakteri anaerob dalam plak. Dengan sendirinya perokok beresiko lebih besar terinfeksi bakteri penyebab penyakit jaringan pendukung gigi dibandingkan mereka yang bukan perokok (Sumonomo, 2007).
Panas rokok mengenai bibir saat diisap, sehingga sel-sel darah merah menjadi ‘terpanggang’ dan mengalami kematian. Sel-sel darah merah yang mati akan memproduksi pigmen yang kemudian tertimbun di bibir dan memicu warna hitam pada lapisan luar bibir. Selain itu, setiap hasil pembakaran pada ujung rokok akan menimbulkan karbon, yang juga akan menambah pekat warna mulut (Cawson, 2002).
Upaya menghentikan kebiasaan merokok menjadi tugas dan tanggung jawab dari segenap lapisan masyarakat. Usaha penerangan dan penyuluhan, khususnya di kalangan generasi muda, dapat pula dikaitkan dengan usaha penanggulangan bahaya narkotika, usaha kesehatan sekolah, dan penyuluhan kesehatan masyarakat pada umumnya. Tokoh-tokoh panutan masyarakat, termasuk para pejabat, pemimpin agama, guru, petugas kesehatan, artis, dan olahragawan, sudah sepatutnya menjadi teladan dengan tidak merokok. Kebiasaan merokok pada dokter harus segera dihentikan (Tandra, 2003)





BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan perilaku merokok dengan kebutuhan perawatan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Perawatan periodontal yang paling dibutuhkan perokok di RW 3 Kel. Karang Anyar Kec. Mamajang Kota Makassar adalah berdasarkan pada skor CPITN skor 2 (adanya kalkulus) yaitu skeling dan peningkatan kebersihan gigi dan mulut sebanyak 43,1%, skor 3 (poket 4-5 mm) yaitu skeling dan perawatan kebersihan gigi dan mulut sebanyak 32,0%, skor 4 (poket 6 mm atau lebih) yaitu skeling, root planning, dan perawatan kebersihan gigi dan mulut sebanyak 9,2%, dan skor 1(perdarahan) yaitu peningkatan kebersihan gigi dan mulut sebanyak 6,5 %.
2. Lama merokok berhubungan dengan skor CPITN yaitu apabila frekuensi lama merokok semakin tinggi, maka skor CPITN akan bertambah sehingga semakin lama seseorang merokok maka kebutuhan perawatan periodontal semakin tinggi.
3. Ciri khas yang paling sering ditemukan pada rongga mulut perokok adalah adanya perubahan warna gingiva dan stain pada gigi.
4. Frekuensi timbulnya kalkulus pada perokok sangat besar hal ini dipengaruhi oleh frekuensi lama merokok dan jumlah rokok yaitu pada perokok yang telah menkomsumsi rokok selama > 5 tahun dan paling banyak antara 10-20 batang/hari, sesuai dengan indeks CPITN skor 2 sebanyak 66 orang atau 43,1%.
5. Jumlah rokok yang dikonsumsi bisa saja tidak berpengaruh dengan indeks CPITN, Hal ini disebabkan oleh faktor kesadaran membersihkan gigi dan mulut yang dapat menghilangkan resiko bertambahnya skor CPITN. Hal ini terlihat pada hasil penilaian indeks CPITN bahwa terdapat 14 orng atau 9,2 % perokok yang indeks CPITN-nya adalah 0.
B. Saran
1. Sebaiknya penelitian terhadap perokok secara kontinyu, sehingga bisa diperoleh perbandingan tingkat kesadaran perilaku merokok dan kesehatan gigi dan mulut pada umumnya dan kesehatan periodontal pada khususnya dari waktu ke waktu.
2. Sebaiknya perlu di lakukan usaha preventif berupa penyuluhan mengenai perilaku merokok dan kesehatan pada umumnya serta hubungannya dengan kesehatan gigi dan mulut khususnya pada masyarakat sehingga dapat mengurangi resiko kematian dan keparahan penyakit gigi dan mulut.

DAFTAR PUSTAKA

Ainamo, J., Barmes, D., Beagrie, G., Cutress, T., Martin, J., and Sardo-Infirri, J.,1982, Development of the world Health Organization (WHO) Community periodontal Index of Treatment Needs, International Dental J., pp:281-291
Carranza, F.A., 1984, Glickman’s Clinical Periodontology, 6th ed., p:32, W.B. Saunders Company, Philadelphia, London,Toronto, Mexico City, Rio de Jainero, Sydney, Tokyo
Carranza, F.A., dan Newman, M.G., 2002, Glickman’s Clinical Periodontology, 9th ed., pp : 16-42, 80,82, 271, 309-310, 651-655, W.B. Saunders Company, Philadelphia, London,Toronto, Mexico City, Rio de Jainero, Sydney, Tokyo.
Cawson, R.A., dkk. 2002. Oral Pathology and Oral Medicine, Ed.7. Elsevier Limited, USA, P. 287
Goldman, H. M. And Cohen, DW., 1986, Periodontal Therapy, 5th ed. Pp: 20-39, saint louis: The C.V. Mosby Company.
Grieder, A., Cinotti, W.R., 1968, Periodontal Prosthesis, Volume One, p:136, The C.V. Mosby Company.
Gupran, R., 1993, Efek Merokok terhadap Rongga Mulut. jurnal kedokteran Gigi, vol.42, No.2, , Hal. 22-5.
Julianti. E.E., Indriani. T.S., dan Artini, S., 2001, Pendidikan Kesehatan Gigi, pp: 108-115, EGC, Jakarta
Manson, J.D., dan Eley, B.M., 1993, Buku Ajar Priodonti, pp: 1-19, 44, 95-97, 102, Hipokrates.
Mustaqimah D.N., 2003, Pencegahan Penyakit Periodontal Yang Dapat Diterapkan Di Puskesmas dan Di tempat Praktek, J. Kedokteran Gigi UI, pp:59-60, Jakarta, JKGI
Mustaqimah D.N., Darmabrata W., Safrina H., Sukardi I., 2005, The effect of daily life style on periodontal health. Int J Dent; 12(2): 67-9.
Natamiharja, Lina dan Lenny Butar Butar. 2001. Kebiasaan Merokok dan Karies Gigi Spesefik pada Sopir di Medan. Dentika Dental Jurnal. Vol. 6. No. 2,. Hal. : 284-289
Novak, M.John and Karen.F.Novak. 2003, Smoking and Periodontal Disease. Ed.9.Caranza’s Clinical periodontology. W.B. Saunders Company : London New York. P.243-250
Peter, F.F, Arthur R. V., John L. Gray., 2004, Silabus periodonti 4th. Pp : 13 EGC, Jakarta.
Prayitno, S.W., 1992, Strategi pencegahan penyakit periodontal berdasarkan data-data CPITN, J. Kedokteran Gigi nomor 3, tahun ke-41, April, Desember 1992, p:19, Jakarta.
Robert J.G., Louis F. R., Walter D. C., Brian L.M., 2000, Periodontal Medicine .p:11, B. C. Decker Inc, Canada, japan, USA.
Setyiowati T., 2005, Perilaku Merokok, Mengkonsumsi Buah, Sayur-sayuran, dan Kegiatan fisik pada Lansia di Jakarta, Majalah Kesehatan Perkotaan Vol. 12, no.2., Jakarta.
Sumonomo Liwu, Koemo Wuto. Rokok dan Rongga Mulut. Available at : http://lawalangy.wordpress.com/2007/06/13/pdf/rokokdanronggamulut/html. Diakses 7 September 2009
Suryanto D, 2009, Pengaruh Rokok terhadap Kesehatan Gigi dan Mulut, http://carahidup.um.ac.id/2009/11/pengaruh-rokok-terhadap-kesehatan-gigi-dan-mulut/ Diakses 7 September 2009
Tandra, Hans. 2003. Merokok dan Kesehatan. Artikel Desain php. Available at : http://www.kompas.com/kompas-cetak/0306/30/opini/398215.html. Diakses 17 Oktober 2009
Tonetti, M.S., 1998, Cigarette Smoking and Periodontal Disease : Etiologi and Management of Disease, Pp: 88-101, Annals of Periodontology.
Wheeler, Sally and Peter Selby. 1996. Confronting Cancer. Penguin Group : All rights reserver. P. 62-85
Wibowo, D., Pilot, T., dan Effendi, I., 1987, Penyakit Periodontal di Indonesia Diukur Dengan Cara WHO CPITN. J. Of The Indonesian Dental Association nomor 49, triwulan I/1987, pp:42-54, Jakarta.
Wu, Siska. 2009. Merokok dan Kesehatan. Available at : http://www.indogamers.com/2961302-post1.html. Diakses 17 Oktober 2009

Yenni, Mulyawati. 2007, Pengaruh Rokok terhadap Kesehatan Gigi dan Mulut. Available at : http://www.ezcobar.com/dokter-online/ pengaruh-rokok-terhadap-kesehatan-gigi-dan-mulut.html. Diakses. 02 Juni 2009